Merdeka




Bulan Agustus sudah lama berlalu. Perayaan peringatan hari kemerdekaan juga sudah tidak berbekas lagi. Tidak ada angin tidak ada hujan. Tiba-tiba ada ide menulis dengan tema kemerdekaan. Apa makna kemerdekaan itu? Apa indikatornya? Bagaimana cara mengisi kemerdekaan? Dan sebagainya. Sebelum membahas itu semua, pertanyaan mendasar adalah Apakah bangsa kita sudah merdeka?
Kalau " merdeka" dimaknai bebas dari penjajahan bangsa lain secara fisik, mungkin kita sudah merdeka yang secara de yure telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi secara de facto apakah bangsa Indonesia sudah benar-benar merdeka? Menurut saya, belum. Bangsa Indonesia masih dijajah dalam bentuk lain. Bahkan semua lini, semua aspek kehidupan kita diserang. Sadar atau tidak bahwa bahaya mengancam di sekeliling kita.
Mari kita bahas satu per satu. Negara kita yang subur makmur membuat bangsa lain tergiur. "Negara seksi" menurut pandangan mereka. Banyak yang berebut ingin menguasai bangsa Indonesia. Ada  kelompok/ organisasi tertentu yang menginginkan bangsa ini rusak, hancur. Mereka menyerang dari segala lini mulai pendidikan, ekonomi, sosial, politik, budaya, mental, agama, pertahanan dan keamanan dan sebagainya.  Saya pernah mendengarkan ceramah dari seorang jendral berbintang tiga yang bergelut di bidang perbaikan gizi. Beliau mengatakan ada kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan depopulasi di Indonesia. Beliau menjelaskan, dalam satu detik ada lima bayi yang lahir. Sementara yang meninggal dunia dua jiwa. Kalau dihitung, satu detik bertambah tiga jiwa. Bila dikalikan satu menit berapa? Kali satu jam berapa? Satu hari, satu bulan, satu tahun? Peledakan penduduk tidak dapat dihindari. Hal ini tentu berdampak pada semua aspek dalam kehidupan. Misalnya: pendidikan, lapangan pekerjaan, kesehatan, kebutuhan pangan, pemukiman, kebutuhan oksigen, dan sebagainya.
Kalau tidak diantisipasi dengan baik, pertumbuhan penduduk yang melaju cepat akan berdampak pada kejahatan. Pencurian, Perampokan, penculikan, pembunuhan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan masih banyak lagi. Nah, sekali lagi, kelompok tertentu tadi menginginkan depopulasi. Target mereka dalam satu tahun harus ada 500 juta jiwa yang meninggal dunia. Sehingga pada tahun 2040 penduduk bumi mencapai angka ideal. Dengan cara apa mereka mengurangi jumlah penduduk tersebut?  Program Keluarga Berencana? Terlalu lama. Membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Perang? Tidak efisien. Biaya perang juga besar. Bom yang harganya mahal itu apabila  dilemparkan belum tentu mengenai sasaran. Lalu apa cara mereka? Salah satunya adalah makanan dan minuman. Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Mereka menjual makanan atau minuman yang tidak sehat dengan mencampurkan bahan sintetis, zat aditif, pewarna pakaian, pemanis buatan, penguat rasa  untuk meracuni konsumennya secara perlahan. Kita sudah sering mendengar pasien yang meninggal dunia karena mengonsumsi mie instan atau minuman dalam kemasan meskipun merk terkenal. Di samping  keuntungan yang didapat dari hasil penjualan tersebut, misi mereka berjalan tanpa halangan . Sementara kita sebagai konsumen tidak menyadarinya.
Setelah beberapa tahun berjalan dan masyarakat mulai menyadari akan bahaya makanan dan minuman instan dan bermaksud beralih pada sayuran dan buah-buahan, mereka tidak tinggal diam. Mereka merekayasa benih tanaman. Bahasa kerennya " rekayasa genetika". Benih-benih tanaman beracun tersebut diselundupkan ke negara kita dengan tujuan yang sama. Membunuh secara pelan-pelan. Disamping itu, efek lain apabila mengonsumsi tumbuhan dari benih beracun tersebut yaitu kemandulan bahkan dapat menyebabkan penyakit degeneratif.

Serangan dari arah lain yaitu gadged. Generasi kita  diserang mentalnya dengan gadget agar terlena. Malas belajar, malas berpikir serius, dan malas bekerja. Generasi micin, semua serba instan. Keinginannya selalu minta segera terturuti tanpa usaha keras. Mental anak manja. Kemana larinya kalau sudah seperti itu. Bangsa kita dibodohkan. Kalau sudah bodoh, mudah sekali mereka mengusai kita. Beberapa aset negara sudah lepas dari tangan. Lebih dari 60% tanah kita sudah menjadi hak milik warga asing. Apalagi yang kita punya? Kita sudah tidak punya nyali untuk bilang" tidak" pada pihak asing.

Belum lagi serangan yang berupa narkoba. Semua sudah tahu bahaya bahayanya. Setiap hari. BNN berhasil menangkap pelakunya tapi jumlahnya tidak berkurang malah semakin berlipat-lipat. Jaringan sindikat mereka kuat. Hukum bisa mereka beli. Zaman sekarang ini siapa yang tidak suka dengan yang namanya uang. Berkali-kali mendengar berita tentang hakim atau jaksa yang bermain-main dengan barang haram ini. Sudah tidak takut dosa. Lupa akan sumpah dan janji jabatannya. Saya pernah  melihat wawancara di salah satu stasiun TV swasta, wawancara dengan kepala komplotan jaringan narkoba bahwa dia belum berniat untuk bertobat. Malah menantang sang reporter " Kalau Mbak tahu keuntungannya pasti Mbak pingin juga berbinis seperti saya" ucapnya.

Kita beralih pada serangan yang beberapa tahun terakhir sedang digencarkan. Apa itu? Ya LGBT. Sekarang malah ditambah dengan " Zina LGBTr". Mereka menginginkan bangsa kita melegalkan program tersebut. Dengan menggelontorkan setumpuk rupiah mereka berusaha menyusup pada orang yang tipis imannya untuk mengesahkan undang-undang yang mengesahkan "zina LGBTr". Sudah bisa dibayangkan bagaimana rusak dan hancurnya bila itu terjadi. Kita tahu free sex adalah salah satu penyebab penularan penyakit HIV/ AIDS. Salah satu penyakit penyimpangan perilaku yang belum bisa disembuhkan dan sudah memakan banyak lagi korban. Mengutip kalimat salah satu dokter yang gencar melawan LGBT bahwa belum pernah mendengar orang yang berperilaku seks menyimpang mengakhiri hidupnya dengan "happy ending" seperti dalam cerita telenovella. Mereka yang berperilaku seks menyimpang umumnya berakhir dengan kematian yang mengenaskan.

Itulah beberapa serangan yang menurut saya sudah cukup membuktikan bahwa kita belum merdeka. Terus apa langkah kita? Dan bagaimana kita bersikap? Ya, mau tak mau kita harus meraih kemerdekaan itu. Merdeka dalam arti sebenarnya. Merdeka lahir batin. Merdeka dari penjajahan nafsu duniawi yang berorientasi pada wujud materi dan kebendaan.  Artinya, kalau kita merdeka sejati, tidak ada "keserakahan" dalam diri kita. Hati akan tenang dan damai dengan rizki yang kita peroleh dengan jalan halal. Berarti tidak ada korupsi, jegal sana jegal sini, mencuri, merampok, apalagi sampai menjual aset negara. Sikap kita dalam mengisi kemerdekaan yaitu dengan memberdayakan potensi diri sebaik-baiknya. Potensi melihat, menyimak, berpikir, potensi waktu, dan sebagainya. Mengisi waktu sela (selain kewajiban utama) dengan menanam sayur sehat dan organik sebagai sumber vitamin dan mineral, juga memelihara ayam, bebek, lele, dan lain-lain di pekarangan rumah sebagai sumber protein hewani yang aman bagi keluarga kita. Hal itu juga sebagai wujud "subhaanaka" memakmurkan bumi Allah dengan berperilaku ramah pada lingkungan. Kita penduduk bumi, yang hidup di bumi, makan dari hasil bumi, beranak pinak di bumi dan kelak mati dikubur di bumi juga seharusnya kita menjaga kelestarian bumi dengan menanam sejuta pohon untuk menjaga keseimbangan alam dan menyumbang oksigen agar udara tetap segar dan sejuk. Semoga kita dapat meraih "hurriyah tammah" atau merdeka sejati, merdeka lahir dan batin. Aamiin

Komentar

Posting Komentar